SUATU
pagi saya iseng menyimak timeline di media sosial. Jangan salah paham, saya
tidak sedang membuat status. Iseng
saja. Ketika membaca timeline tersebut,
ternyata disana saya menemukan lomba Blog yang diselenggarakan oleh BLOG MATA (Masyarakat
Transparansi Aceh) dengan tema Review Izin untuk Penataan Perizinan yang fokus
pada mendorong Pemerintah Aceh untuk melakukan review izin perusaahaan
pemegang Hak Guna Usaha (HGU) sawit yang beroperasi di Aceh.
Bagi
mereka yang bergerak dalam bidang perekonomian, masyarakat yang tinggal di perbatasan antara Kabupaten Aceh Selatan dan Kawasan Ekosistem Leuser, istilah kelapa sawit menggambarkan
bahwa masyarakat dan perusahaan swasta
sama-sama saling berkerjasama untuk mencari keuntungan. Itu
tentu membutuhkan integritas tersendiri
bagi masing-masing pihak.
Beberapa perusahaan besar, saya tahu,
memiliki semacam pusat sosilisasi dan pelatihan untuk bisa merangkul para petani
agar tidak terjadi konflik antara perusahaan tertentu maupun satwa yang ada di
dalam kawasan ekosistem leuser seperti Gajah, Harimau, Badak dan Orang utan.
Masih banyak masyarakat yang
belum tahu tentang dampak kawasan ekosistem leuser jika terjadi perluasan tanaman
kelapa sawit. Karena mereka belum dibekali ilmu yang memadai tentang bagaimana cara
pengelolaan lahan kelapa sawit dan sistem ekspansi yang berkelanjutan. Dibukanya
beberapa lahan baru perkebunan kelapa sawit oleh Perusahan Perkebunan Swasta atas seizin Pemerintah Aceh,
membuat para masyarakat berpikir panjang untuk bisa me Review Izin untuk Penataan Perizinan ini.
Masyarakat di Aceh Selatan, yang tinggalnya tidak jauh
dari Hutan Lindung Leuser, berharap untuk bisa mereview kembali surat izin perluasan
perkebunan kelapa sawit. Karena tanpa
disadari oleh kita, tiap tahun
Hutan Lindung Leuser semakin parah. Betapa kebanyakan masyarakat yang hidup diperbatasan kawasan Hutan Leuser
belum tahu, kalau lahan tersebut akan diperluas lagi untuk ditumbuhi
tanaman kelapa sawit. Di samping itu, sumber daya masyarakat juga minim, itu
tentu menjadi semacam otokritik untuk saya.
Rupanya
Pemerintah Aceh akan melakukan
kebijakan menghapus kawasan ekosistem
gunung leuser itu. Sedangkan Kawasan Ekosistem
Leuser (KEL) merupakan salah satu wilayah konservasi paling penting di muka
bumi. Lalu, untuk apa dihapus?
Sekarang
mari kita lihat potret yang lebih besar lagi. Menurut Yayasan HakA, luas hutan
Aceh pada tahun 2006 seluas 3,34 juta hektare, namun kini tersisa seluas 3,050
juta hektare. Data dari dokumen Governor Climate and Forest (GCF) task force
pada periode 2006 hingga 2009 saja, Aceh kehilangan 160 ribu hektare lebih. Di
mana luas hutan Aceh pada 2006 mencapai 3,34, berkurang menjadi 3,18 juta
hektare pada 2009. Pada periode itu laju kerusakan hutan di Aceh mencapai 32
ribu hektare. Sedangkan kerusakan hutan periode 2014 dan 2015 sekitar 21.056
hektare. Di mana luas hutan Aceh pada 2014 mencapai 3,071 juta hektare dan
berkurang menjadi 3,050 juta hektare pada tahun 2015. Hitungan ini menunjukkan
bahwa sebesar 54% dari dari daratan Aceh masih berupa tutupan hutan alam.
Kerusakkan yang paling parah adalah kabupaten Aceh Timur mencapai 4.431
hektare, Kabupaten Aceh Selatan mencapai 3.061 hektare, Kabupaten Aceh Utara
1.771 hektare, Kota Subulussalam 1.475 hektare, dan Kabupaten Gayo Lues
mencapai 1.401 hektare.
Apa
artinya? Mengenai Review izin usaha perkebunan perusahaan
sawit sebagai bagian penataan perizinan di Aceh,
harusnya betul-betul
disepakati oleh berbagai pihak. Betul-betul
ditelaah kembali atas berbagai masalah
yang dihadapi ke depan. Atau, kalau kita
sederhanakan, jangan asal tebang
demi kepentingan oknum yang tidak bertanggung jawab.
Celakanya,
sistem pengelolaan “orang
dalam” diam-diam juga melakukan rencana untuk bisa mengambil keuntungan. Bahkan,
perkebunan kelapa sawit kerap
dijadikan sebagai devisa paling utama
untuk Negara.
Masih
banyak Perkebunan Kelapa Sawit
diperbatasan Kawasan Leuser, tiap tahun sedikit-dikit akan diperluas baik itu disengaja
maupun tidak. Maka, tak heran
kalau upaya yang dapat dilakukan oleh Pemerintah Aceh
untuk melakukan review izin usaha perkebunan perusahaan sawit di Aceh, sejauh ini tidak terasa informasi
yang sampai ke Masyarakat apalagi “Blusukkan” meninjau langsung ke sini.
Sebab, hanya dengan cara itulah, Pemerintah Aceh saling melakukan
musyawarah bersama antara pihak perusahaan pemegang Hak Guna Usaha (HGU),
masyarakat gampong yang tinggal, para tokoh masyarakat, dan berbagai pihak yang
mendukung akan lebih baik dalam proses perizinan perkebunan kelapa sawit.
Pada banyak kasus, kondisi semacam itu
memicu moral hazard: memperoleh keuntungan dibidang kelapa sawit jauh lebih penting ketimbang
memikirkan dampak yang terjadi bagi satwa leuser, seperti Gajah
Sumatera (Elephas maximus sumatranus), yang baru saja ‘naik kelas’ menjadi satwa
yang masuk dalam kategori “Kritis” atau Critically Endangered dalam Daftar
Merah IUCN.
Jadi, asal bisa tebang/tanam saja tanpa berpikir panjang, meski itu lahan atau hutan bukan persoalan. Bahkan, tak penting pula pemerintah mengatur sendiri dengan
iming-iming Perda atau apalah. Pokoknya
asal bisa memenuhi kuota pemasukan devisa daerah dan Negara.
Kita juga bisa memotret fenomena itu dari
maraknya artikel,
video tentang kerusakkan hutan dan lahan yang tidak dikelola secara baik. Bahkan, ada yang caranya lebih kasar.
Cobalah masuk Google dan ketik kata kunci ”Kerusakan Hutan”. Di sana, kita akan menemukan video/artikel tentang penggundulan
hutan secara berlebihan. Di samping itu, pembunuhan Gajah Sumatera semakin maraknya
terjadi karena gadingnya di pasar gelap kian melonjak. Miris, bukan?
Fakta-fakta itu jelas mengundang perhatian serius oleh
Masyarakat Transparan Aceh melihat dampaknya terjadi terhadap punahnya
megafauna bila
lahan hutan dan konservasi terus berkurang. Bukan saja itu, dampak yang terjadi juga dirasakan oleh Kaum Perempuan terhadap izin usaha
perkebunan sawit dan juga partisipasi kelompok perempuan tertentu dalam mendorong perbaikan tata kelola hutan
dan lahan di Aceh.
Pasalnya,
Kaum Perempuan kesulitan mencari
air bersih, mata air pengunungan sudah mulai kering. Banjir setiap tahun semakin
besar. Kaum Perempuan turut membantu perekonomian keluarga yang bergantung
pada Hutan Leuser,
sebagai simbol kemakmuran Aceh berada di bawah ancaman besar.
Itu sebabnya Kaum Perempuan dan Kelompok Perempuan fight for reviewing permit oil palm atas apa yang diputuskan oleh
Pemerintah Aceh. Sebab, kita tahu untuk meneruskan kehidupan
Kaum Perempuan dan anak-anak mereka yang masih tertinggal dipelosok butuh tempat
mencari yang lebih baik, dan juga tempat huni yang layak. Seperti air bersih, udara
yang bersih tanpa menghirup asap karena pembakaran lahan gambut untuk penanaman
kelapa sawit.
Kita tentu tidak boleh membiarkan hal
semacam itu menjadi berlarut-larut. Masalah yang terjadi di dunia kelapa sawit kita ini akan menjadi tantangan tersendiri,
bukan hanya bagi pemerintahan dr.
H. Zaini Abdullah - Tgk. Muzakir Manaf, tetapi
bagi kita semua. Di sinilah, saya kira, revolusi mental, termasuk dalam bidang kelapa sawit, akan menemukan relevansinya.