Jumat, 15 Juli 2016

Fight for Reviewing Permit Oil Palm

SUATU pagi saya iseng menyimak timeline di media sosial. Jangan salah paham, saya tidak sedang membuat status. Iseng saja. Ketika membaca timeline tersebut, ternyata disana saya menemukan lomba Blog yang diselenggarakan oleh BLOG MATA (Masyarakat Transparansi Aceh) dengan tema Review Izin untuk Penataan Perizinan yang fokus pada mendorong Pemerintah Aceh untuk melakukan review izin perusaahaan pemegang Hak Guna Usaha (HGU) sawit yang beroperasi di Aceh.

Bagi mereka yang bergerak dalam bidang perekonomian, masyarakat yang tinggal di perbatasan antara Kabupaten Aceh Selatan dan Kawasan Ekosistem Leuser, istilah kelapa sawit menggambarkan bahwa masyarakat dan perusahaan swasta sama-sama saling berkerjasama untuk mencari keuntungan. Itu tentu membutuhkan integritas tersendiri bagi masing-masing pihak.

Beberapa perusahaan besar, saya tahu, memiliki semacam pusat sosilisasi dan pelatihan untuk bisa merangkul para petani agar tidak terjadi konflik antara perusahaan tertentu maupun satwa yang ada di dalam kawasan ekosistem leuser seperti Gajah, Harimau, Badak dan Orang utan.

Masih banyak masyarakat yang belum tahu tentang dampak kawasan ekosistem leuser jika terjadi perluasan tanaman kelapa sawit. Karena mereka belum dibekali ilmu yang memadai tentang bagaimana cara pengelolaan lahan kelapa sawit dan sistem ekspansi yang berkelanjutan. Dibukanya beberapa lahan baru perkebunan kelapa sawit oleh Perusahan Perkebunan Swasta atas seizin Pemerintah Aceh, membuat para masyarakat berpikir panjang untuk bisa me Review Izin untuk Penataan Perizinan ini.

Masyarakat di Aceh Selatan, yang tinggalnya tidak jauh dari Hutan Lindung Leuser, berharap untuk bisa mereview kembali surat izin perluasan perkebunan kelapa sawit. Karena tanpa disadari oleh kita, tiap tahun Hutan Lindung Leuser semakin parah. Betapa kebanyakan masyarakat yang hidup diperbatasan kawasan Hutan Leuser belum tahu, kalau lahan tersebut akan diperluas lagi untuk ditumbuhi tanaman kelapa sawit. Di samping itu, sumber daya masyarakat juga minim, itu tentu menjadi semacam otokritik untuk saya.

Rupanya Pemerintah Aceh akan melakukan kebijakan menghapus kawasan ekosistem gunung leuser itu. Sedangkan Kawasan Ekosistem Leuser (KEL) merupakan salah satu wilayah konservasi paling penting di muka bumi. Lalu, untuk apa dihapus?

Sekarang mari kita lihat potret yang lebih besar lagi. Menurut Yayasan HakA, luas hutan Aceh pada tahun 2006 seluas 3,34 juta hektare, namun kini tersisa seluas 3,050 juta hektare. Data dari dokumen Governor Climate and Forest (GCF) task force pada periode 2006 hingga 2009 saja, Aceh kehilangan 160 ribu hektare lebih. Di mana luas hutan Aceh pada 2006 mencapai 3,34, berkurang menjadi 3,18 juta hektare pada 2009. Pada periode itu laju kerusakan hutan di Aceh mencapai 32 ribu hektare. Sedangkan kerusakan hutan periode 2014 dan 2015 sekitar 21.056 hektare. Di mana luas hutan Aceh pada 2014 mencapai 3,071 juta hektare dan berkurang menjadi 3,050 juta hektare pada tahun 2015. Hitungan ini menunjukkan bahwa sebesar 54% dari dari daratan Aceh masih berupa tutupan hutan alam. Kerusakkan yang paling parah adalah kabupaten Aceh Timur mencapai 4.431 hektare, Kabupaten Aceh Selatan mencapai 3.061 hektare, Kabupaten Aceh Utara 1.771 hektare, Kota Subulussalam 1.475 hektare, dan Kabupaten Gayo Lues mencapai 1.401 hektare.

Apa artinya? Mengenai Review izin usaha perkebunan perusahaan sawit sebagai bagian penataan perizinan di Aceh, harusnya betul-betul disepakati oleh berbagai pihak. Betul-betul ditelaah kembali atas berbagai masalah yang dihadapi ke depan. Atau, kalau kita sederhanakan, jangan asal tebang demi kepentingan oknum yang tidak bertanggung jawab.

Celakanya, sistem pengelolaan “orang dalam” diam-diam juga melakukan rencana untuk bisa mengambil keuntungan. Bahkan, perkebunan kelapa sawit kerap dijadikan sebagai devisa paling utama untuk Negara.

Masih banyak Perkebunan Kelapa Sawit diperbatasan Kawasan Leuser, tiap tahun sedikit-dikit akan diperluas baik itu disengaja maupun tidak. Maka, tak heran kalau upaya yang dapat dilakukan oleh Pemerintah Aceh untuk melakukan review izin usaha perkebunan perusahaan sawit di Aceh, sejauh ini tidak terasa informasi yang sampai ke Masyarakat apalagi “Blusukkan” meninjau langsung ke sini. 

Sebab, hanya dengan cara itulah, Pemerintah Aceh saling melakukan musyawarah bersama antara pihak perusahaan pemegang Hak Guna Usaha (HGU), masyarakat gampong yang tinggal, para tokoh masyarakat, dan berbagai pihak yang mendukung akan lebih baik dalam proses perizinan perkebunan kelapa sawit.

Pada banyak kasus, kondisi semacam itu memicu moral hazard: memperoleh keuntungan dibidang kelapa sawit jauh lebih penting ketimbang memikirkan dampak yang terjadi bagi satwa leuser, seperti Gajah Sumatera (Elephas maximus sumatranus), yang baru saja ‘naik kelas’ menjadi satwa yang masuk dalam kategori “Kritis” atau Critically Endangered dalam Daftar Merah IUCN.

Jadi, asal bisa tebang/tanam saja tanpa berpikir panjang, meski itu lahan atau hutan bukan persoalan. Bahkan, tak penting pula pemerintah mengatur sendiri dengan iming-iming Perda atau apalah. Pokoknya asal bisa memenuhi kuota pemasukan devisa daerah dan Negara.

Kita juga bisa memotret fenomena itu dari maraknya artikel, video tentang kerusakkan hutan dan lahan yang tidak dikelola secara baik. Bahkan, ada yang caranya lebih kasar. Cobalah masuk Google dan ketik kata kunci Kerusakan Hutan. Di sana, kita akan menemukan video/artikel tentang penggundulan hutan secara berlebihan. Di samping itu, pembunuhan Gajah Sumatera semakin maraknya terjadi karena gadingnya di pasar gelap kian melonjak. Miris, bukan?

Fakta-fakta itu jelas mengundang perhatian serius oleh Masyarakat Transparan Aceh melihat dampaknya terjadi terhadap punahnya megafauna bila lahan hutan dan konservasi terus berkurang. Bukan saja itu, dampak yang terjadi juga dirasakan oleh Kaum Perempuan terhadap izin usaha perkebunan sawit dan juga partisipasi kelompok perempuan tertentu dalam mendorong perbaikan tata kelola hutan dan lahan di Aceh.
  
Pasalnya, Kaum Perempuan kesulitan mencari air bersih, mata air pengunungan sudah mulai kering. Banjir setiap tahun semakin besar. Kaum Perempuan turut membantu perekonomian keluarga yang bergantung pada Hutan Leuser, sebagai simbol kemakmuran Aceh berada di bawah ancaman besar.

Itu sebabnya Kaum Perempuan dan Kelompok Perempuan fight for reviewing permit oil palm atas apa yang diputuskan oleh Pemerintah Aceh. Sebab, kita tahu untuk meneruskan kehidupan Kaum Perempuan dan anak-anak mereka yang masih tertinggal dipelosok butuh tempat mencari yang lebih baik, dan juga tempat huni yang layak. Seperti air bersih, udara yang bersih tanpa menghirup asap karena pembakaran lahan gambut untuk penanaman kelapa sawit.


Kita tentu tidak boleh membiarkan hal semacam itu menjadi berlarut-larut. Masalah yang terjadi di dunia kelapa sawit kita ini akan menjadi tantangan tersendiri, bukan hanya bagi pemerintahan dr. H. Zaini Abdullah - Tgk. Muzakir Manaf, tetapi bagi kita semua. Di sinilah, saya kira, revolusi mental, termasuk dalam bidang kelapa sawit, akan menemukan relevansinya. 

Ditulis Oleh : Unknown // Jumat, Juli 15, 2016
Kategori:

0 komentar:

 

Total Tayangan Halaman

Alvawan Nazmi. Diberdayakan oleh Blogger.